JATENG – Pimpinan Redaksi Berita Istana Tanggapi Tegas Somasi PT Chickin Sahabat Peternak Somasi yang dilayangkan oleh Bryan Prima Susanto, S.H., kuasa hukum PT Chickin Sahabat Peternak, kepada Pimpinan Redaksi (Pimred) Berita Istana, mendapat tanggapan tegas dari Warsito selaku Pimred. Warsito menyebut somasi tersebut tidak berdasar dan menunjukkan kurangnya pemahaman terkait dunia jurnalistik.
Kasus ini bermula dari dugaan manipulasi data, tindak pidana pencucian uang (money laundering), dan penipuan yang diduga dilakukan oleh PT Chickin Sahabat Peternak melalui transaksi di tiga Bank Perkreditan Rakyat (BPR) yang berlokasi di Pasuruan dan Palembang. Salah satu korban, Joko Susilo, mengungkapkan bahwa namanya telah digunakan untuk pencairan dana tanpa sepengetahuannya.
“Saya merasa dirugikan karena nama saya dipakai tanpa izin untuk transaksi yang saya tidak tahu menahu,” ujar Joko Susilo yang kini didampingi kuasa hukumnya, Dedy Afriandi Nusbar dan rekan, untuk mengusut tuntas kasus tersebut.
Menanggapi somasi tersebut, Warsito menegaskan bahwa media memiliki peran penting dalam mengungkap fakta. “Somasi ini sangat tidak berdasar. Seharusnya oknum pengacara ini belajar jurnalistik dulu agar tidak ditertawakan oleh orang-orang yang memahami dunia ini,” tegasnya. Warsito juga menambahkan bahwa Berita Istana selalu menjunjung tinggi prinsip jurnalistik, seperti verifikasi dan konfirmasi informasi sebelum publikasi.
Warsito menyayangkan tindakan somasi yang dianggap tidak menghormati fungsi pers sebagai pilar keempat demokrasi. “Kami akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas demi memberikan informasi yang akurat kepada publik,” ujarnya.
Memahami Uka-Uka dalam Dunia Jurnalistik
Warsito juga menyoroti istilah “uka-uka” yang kerap menjadi simbol ketidakprofesionalan dalam dunia pers. Ia menilai ketidakpahaman terhadap konsep ini kerap menjadi akar dari berbagai persoalan, termasuk di kalangan aparat hukum dan pengusaha.
“Ketika seseorang yang tidak paham mencoba mengendalikan situasi, mereka justru menjerumuskan pihak lain ke dalam ketidakpahaman yang sama,” ungkapnya. Warsito mendorong semua pihak untuk memahami dasar hukum jurnalistik, seperti Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, yang seharusnya menjadi pedoman utama dalam praktik pers.
Menurut Warsito, perbedaan mencolok antara jurnalis profesional dan pemegang “uka-uka” terlihat dari rekam jejak dan kontribusi nyata yang diberikan. “Jurnalis profesional seperti Karni Ilyas atau Najwa Shihab dihormati atas kualitas dan integritas mereka, sementara pemegang uka-uka hanya bergantung pada ‘kertas’ tanpa kompetensi yang jelas,” tegasnya.
Kesimpulan:Warsito menekankan bahwa ketidakpahaman terhadap konsep “uka-uka” tidak hanya merugikan individu, tetapi juga melemahkan kredibilitas jurnalisme. “Saatnya berhenti menjadi pemegang uka-uka dan mulai mengedepankan profesionalisme dalam dunia pers,” tutup Warsito.
(iTO)