Solo – Polemik mengenai ijazah Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), kembali mencuat ke permukaan. Menyikapi hal tersebut, tim kuasa hukum Jokowi menyatakan siap mengambil langkah hukum terhadap pihak-pihak yang terus mempersoalkan keaslian ijazah milik Jokowi, terutama jika hal tersebut mengarah pada fitnah atau penyebaran informasi bohong.
Pernyataan itu disampaikan usai pertemuan antara Jokowi dan tim kuasa hukumnya di kediaman pribadi Jokowi di Sumber, Kecamatan Banjarsari, Solo, Jawa Tengah, Rabu, 9 April 2025. Tim kuasa hukum yang hadir antara lain Yakup Hasibuan, Andra Reinhard Pasaribu, Firmanto Laksana, dan Rivai Kusumanegara. Selain berdiskusi soal isu hukum, pertemuan tersebut juga bertujuan untuk bersilaturahmi.
Yakup Hasibuan, yang juga merupakan anak dari Wakil Menteri Koordinator Hukum, HAM, Imigrasi dan Pemasyarakatan Otto Hasibuan, mengatakan bahwa isu ijazah palsu sebenarnya telah bergulir sejak tahun 2023. Sejak saat itu, timnya sudah menangani dua gugatan hukum terkait ijazah Jokowi dan memenangkan keduanya. “Perkara inkracht dimenangkan Pak Jokowi, tapi kini kembali dimunculkan, padahal semua bukti sudah menunjukkan keaslian ijazah tersebut,” ujarnya kepada wartawan.
Menurut Yakup, Universitas Gadjah Mada (UGM) juga telah menyatakan secara resmi bahwa ijazah Jokowi adalah asli dan Jokowi memang merupakan alumnus Fakultas Kehutanan UGM, lulus pada tahun 1985. Meski demikian, pihaknya kini tengah mempertimbangkan langkah hukum terhadap pihak-pihak yang dinilai telah memasuki ranah privat dan menyebarkan informasi yang tidak benar.
“Kami tengah mempertimbangkan untuk mengambil langkah hukum terkait beberapa pihak yang mulai mengusik ranah privat Pak Jokowi dengan kembali mengungkit masalah ijazah,” ungkap Yakup.
Ia menegaskan bahwa masyarakat tetap berhak menyampaikan pendapat atau mempertanyakan hal tersebut lewat jalur hukum. Namun jika dilakukan di luar koridor hukum, menurutnya, hal itu dapat dikategorikan sebagai fitnah.
Rivai Kusumanegara menambahkan bahwa status Jokowi yang kini bukan lagi pejabat publik menjadi pertimbangan penting dalam rencana pengambilan langkah hukum. “Saat ini beliau adalah warga negara biasa, bukan lagi pejabat publik. Maka serangan-serangan bersifat pribadi terhadap beliau harus dilindungi hukum,” kata Rivai.
Sementara itu, Firmanto Laksana menekankan pentingnya kebebasan berpendapat, namun dengan tetap menjaga konteks dan substansi. “Sudah ada proses hukum dan pembuktian yang menyatakan ijazah tersebut sah secara hukum. Bila keabsahan ini terus dipersoalkan, patut dipertanyakan motif di baliknya,” jelasnya.
Polemik terbaru dipicu oleh analisa Rismon Sianipar, mantan dosen Universitas Mataram, yang melalui sebuah video di YouTube mengklaim ijazah Jokowi palsu karena menggunakan font Times New Roman, yang menurutnya belum ada pada era 1980-an. Padahal, pihak UGM telah memberikan klarifikasi bahwa penggunaan font serupa sudah jamak digunakan di masa itu oleh berbagai percetakan di sekitar kampus.
Terkait keinginan Rismon untuk bertemu langsung dengan Jokowi guna klarifikasi, Rivai menyebut bahwa hal tersebut tidak dapat dilakukan secara langsung tanpa melalui kuasa hukum, sesuai dengan aturan dalam Kode Etik Advokat Indonesia (KEAI). “Sesuai Pasal 7 huruf 1 KEAI, bila seseorang telah menunjuk advokat untuk menangani perkara, maka hubungan terkait perkara itu hanya boleh dilakukan melalui kuasa hukumnya,” tutup Rivai.(Tim:Red)