Pasangkayu– Mafia tanah masih banyak ditemukan di berbagai wilayah Indonesia, terutama dalam konflik agraria dan masalah kawasan hutan yang dirambah oleh oknum yang melanggar konstitusi. Salah satu kasus yang mencuat adalah keberadaan mafia tanah di Kabupaten Pasangkayu, Provinsi Sulawesi Barat. Indikasi praktik mafia tanah di kawasan ini sangat jelas, terlihat dari aktivitas korporasi yang merambah kawasan hutan dan melakukan penyerobotan lahan melebihi batas Hak Guna Usaha (HGU). Kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan ketegasan dari perangkat daerah setempat.
Dedi Lasadindi, seorang tokoh dan aktivis masyarakat yang memimpin Aliansi Masyarakat Penjaga Alam, menyebutkan bahwa salah satu modus operandi mafia tanah adalah merekayasa batas dan ukuran tanah serta melakukan kolusi dengan oknum pejabat. Menurutnya, indikasi praktik ini sudah sangat jelas ditemukan di Kabupaten Pasangkayu. Namun, hingga saat ini, belum ada aparat penegak hukum yang berani menindak tegas para pelaku. Justru diduga bahwa beberapa aparat penegak hukum (APH) terlibat dalam kolusi dengan mafia tanah di wilayah tersebut.
“Semua dimanipulasi oleh mafia tanah. Misalnya, rencana lahan yang akan dilepaskan dan yang telah dilepaskan itu berbeda luasnya, serta peta kerja di lapangan juga tidak sesuai dengan luas HGU yang ditetapkan,” jelas Dedi.
Dedi, yang juga merupakan inisiator gerakan PEOPLES LETTER, mengungkapkan bahwa investigasi yang dilakukan selama beberapa tahun terakhir menemukan banyak kejanggalan signifikan antara data dan fakta lapangan. Hasil investigasi tersebut menunjukkan adanya pola penyelewengan yang sistematis dan terstruktur di Kabupaten Pasangkayu.
Konflik agraria di Kabupaten Pasangkayu telah berlangsung sejak tahun 1990-an hingga 2024, namun belum ada langkah serius dari perangkat daerah untuk menyelesaikan masalah ini. Bahkan, ada korporasi yang mengklaim sedang mengurus HGU sebagai bentuk ketaatan terhadap aturan, padahal tanaman kelapa sawit sudah lebih dari dua dekade tertanam di lahan tersebut. Tindakan dari pemerintah daerah pun terkesan lamban, karena tidak ada sanksi tegas terhadap pelanggaran ini.
Di Pasangkayu, banyak perusahaan kelapa sawit yang terus berkonflik dengan masyarakat sekitar, bahkan ada yang kasusnya dilaporkan hingga ke Parlemen Eropa. Konflik ini seharusnya menjadi pelajaran bagi pihak korporasi agar memperbaiki pelanggaran yang terjadi, seperti menyerahkan lahan di luar HGU yang dikuasai kepada masyarakat serta membangun kebun plasma sebagai bentuk tanggung jawab sosial kepada warga sekitar.
“Kami dari organisasi dan media mengutuk keras adanya mafia tanah di Bumi Pasangkayu. Kami meminta pemerintah pusat melalui lembaga terkait agar memeriksa dan menindak perusahaan-perusahaan yang melanggar konstitusi, melakukan kejahatan lingkungan, penyerobotan melebihi batas HGU, serta kriminalisasi terhadap pejuang lingkungan,” tegas Dedi.
Kasus mafia tanah di Kabupaten Pasangkayu menjadi tantangan bagi pemerintah dan lembaga penegak hukum untuk menegakkan aturan serta memberikan keadilan bagi masyarakat yang terdampak.