Semarang, 29 April 2025 – Gubernur Jawa Tengah Ahmad Luthfi mengeluarkan pernyataan tegas yang mengejutkan publik saat memberikan paparan dalam acara Sekolah Antikorupsi di GOR Indoor Jatidiri, Kota Semarang, Selasa (29/4). Ia menyatakan bahwa kepala desa (kades) tidak boleh terus-menerus dipidana atas kesalahan administratif atau teknis dalam menjalankan tugas pembangunan desa.
“Tidak boleh sedikit-sedikit kepala desa dipidana. Setelah pulang dari sini, tiga pilar di desa harus diaktifkan kembali: Babinsa menjaga keamanan, Bhabinkamtibmas mengatur ketertiban, dan Kades fokus pada pembangunan,” tegas Luthfi disambut sorak sorai para kepala desa yang hadir.
Luthfi juga meminta agar pengawasan terhadap desa dilakukan secara kolaboratif dan edukatif. Ia memerintahkan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) serta Aparat Penegak Hukum (APH) seperti Inspektorat, Kejaksaan, dan Kepolisian, untuk mendampingi kepala desa dalam penggunaan dana pembangunan, bukan langsung menindak pidana.
Langkah tersebut diambil mengingat tahun 2025 sebanyak 7.810 desa di Jawa Tengah akan menerima bantuan keuangan hingga Rp1,2 triliun. Luthfi menilai penguatan tiga pilar dan pendampingan intensif dari aparat adalah langkah strategis agar pembangunan sesuai visi-misi provinsi.
Namun, pernyataan Luthfi tersebut menuai kritik tajam dari Direktur Utama PT Berita Istana Negara (BIN), Warsito. Ia menilai langkah Gubernur itu justru membuka peluang subur bagi praktik korupsi di tingkat desa.
“Apa yang disampaikan Ahmad Luthfi sangat tidak tepat. Ini bisa mencetak koruptor baru di desa. Beliau selama jadi Kapolda Jateng saya rasa belum menyentuh langsung kondisi riil desa-desa di pelosok,” ujar Warsito.
Warsito menambahkan bahwa meskipun selama ini dana desa diawasi Inspektorat, Kejaksaan, dan Kepolisian, nyatanya di lapangan masih banyak penyimpangan. “Dana tidak dikerjakan sesuai spesifikasi, tumpang tindih dengan anggaran aspirasi dan Banprov. Bahkan beberapa proyek besar sudah dikondisikan melalui oknum aparat penegak hukum,” tegasnya.
Ia khawatir bahwa dengan pernyataan Gubernur, kepala desa yang selama ini bermain anggaran akan merasa dilindungi dan makin berani melakukan mark-up harga maupun manipulasi proyek.
Kontroversi ini membuka perdebatan publik terkait keseimbangan antara perlindungan dan penegakan hukum dalam tata kelola pemerintahan desa. Pemerhati kebijakan publik pun menyerukan perlunya sistem pengawasan yang ketat namun humanis, agar pembangunan desa berjalan optimal tanpa membuka ruang korupsi.(iTO)